Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Friday 3 May 2019

Mahasiswa Unhas Jadi Sasaran "Salah Keroyok" Satpam Kampus


(Ardiansyah (kanan, tengah), korban salah keroyok oleh sejumlah satuan pengamanan kampus Unhas. Sumber: Dokumentasi Anonim)



Mahasiswa Universitas Hasanuddin jurusan Manajemen angkatan 2017, Ardiansyah (19) menjadi korban pengeroyokan, Kamis (2/5/2019) sore. Dia pun mendapat luka di wajahnya akibat terkena pukulan dari beberapa Satuan Pengamanan (Satpam), saat Aksi Demonstrasi ‘Turunkan Rektor’ berujung ricuh, di Halaman Gedung Rektorat Unhas.


Saat aksi berlangsung, ia tengah berada di sekretariat UKM Teater Kampus Unhas (TKU), gedung lama Fakultas Teknik (FT). Cahe, sapaan akrabnya, baru saja bangun tidur, sore hari, Kamis, 2 Mei. Dia habis beristirahat. Tentu, setelah tiga hari terakhir melakukan latihan cukup padat di Gedung Teknik Lama Unhas.


Dia adalah salah satu aktor “Orang-orang pendek”, garapan teater yang diproduksi oleh UKM Teater Kampus Unhas untuk mengikuti Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO) yang akan berlangsung di Medan pada bulan November mendatang.


Kronologi kejadian pemukulan bermula ketika pukul 14.00 WITA, ratusan mahasiswa mengenakan almamater merah mulai menggelar aksi demonstrasi, mereka berorasi hingga menyuarakan tuntutan dari Serikat Mahasiswa Unhas. Namun, 2 jam berikutnya keadaan massa mulai memanas. Lima menit sebelum ricuh, Rektor Unhas, Prof. Dwia Ariestina Pulubuhu, yang telah memberikan keterangan dihadapan massa naik ke Rektorat. Sejak itu, massa dan barisan satpam mulai saling dorong, dan akhirnya kericuhan tak dapat dibendung. Pada pukul 16.30 WITA, Cahe hendak menuju WC yang berada di lantai 2 Gedung Teknik Lama Unhas. Untuk ke WC, harus lewat taman Pascasarjana Ekonomi. Pukul 17.00 WITA, situasi mulai tak kondusif, para satpam mengurai massa mahasiswa, memukul, dan mengacung senjata tajam seperti badik dan benda tumpul saat mengejar. Belum sampai ke lantai 2, dia berada di Taman Pascasarjana Ekonomi Unhas, Cahe tiba-tiba dipanggil satpam.


Dia dituduh bagian dari massa aksi. “Waktu naik ke toilet, saya langsung ditunjuk satpam, bilang “We ikut ko?,”kata Ardiansyah saat ditemui di sekretariat UKM Teater Kampus Unhas, “awalnya saya bilang “tidak”, tapi satpam bilang “ikut meko saja”. sambungnya. Ketika diringkus, Anggota UKM Teater Kampus Unhas ini sempat melihat seorang satpam tengah mengacungkan senjata tajam yang bentuknya mirip celurit. Tak lama, ia mulai dipiting dan menghela tubuh Ardiansyah ke arah Rektorat. “Pas saya ditangkap, tangan saya disilang ke belakang, terus saya (rambut) dijambak, terus dipukuli, dari belakang, depan, samping,” ulas Ardiansyah sambil meragakan insiden itu. Kata Ardiansyah, jumlah satpam yang memukulinya tidak diketahui pasti. Di tengah satpam menghela dirinya ke gedung Rektorat, satu demi satu pukulan menghujam wajah dan tubuhnya. “Sampai depan Rektorat itu, ada got-got yang besar. Ada satu orang pakai baju Korpri, dia tarik baju saya turun kasih masuk di got,” kata dia.


(Luka yang diterima Ardiansyah pasca pengeroyokan. Sumber: Dokumentasi Korban)


“Di got rektorat, di tarik baju saya. Hapeku terlempar. Di situ got, sambil dipukuli diinjak ditendang, kepala bagian belakang,” ujar Cahe. Tak puas. Satpam kembali menggiringnya ke kantor Satpam. Di sana dia diintimidasi bahkan tetap dipukul. “Baru (sampai) di pos ada pentungan itu dia pake pukulka,” selanya sambil menunjuk pipi kanannya, bekas hantaman pentungan. Cahe selalu menjelaskan, bahwa dia tidak terlibat. Dia korban salah tangkap, dia habis latihan teater. Namun, Satpam tak percaya. Padahal, kala ia disergap, Ardiansyah sedang jalan ke toilet.


Tak mendapat jawaban yang dimaui, para satpam kembali menghela Ardiansyah ke lobi gedung Rektorat. “Di panggil ka ikut. Saya jawab untuk apa, tapi saya dipaksa. Dibawa ka kayak tahanan, rambut saya jambak Saya menengadah ke atas, sambil di bawah dan dipukuli. Makin banyak yang memukuli saya. Di sana, ia tak lagi dipukuli. Tak lama, ia dibebaskan. “Saya ditanya-tanya sama pegawai rektorat; “ikut ko aksi ?”, saya bilang tidak, di situ saya sementara persiapkan teater, karena di sana juga sekretariat saya,” ujarnya.


Beberapa menit kemudian, Ardiansyah dibawa ke Rumah Sakit (RS) Unhas, ia menjalani pemeriksaan medis dan diberi sejumlah obat-obatan. Sebelum itu, Ardiansyah hendak dipukul lagi. Namun, seorang pegawai Rektorat menghalang. “Pegawai itu bilang; “ini korban salah tangkap”,” ujar dia.


Satpam dan birokrasi kampus mengakui kalau Cahe korban salah tangkap. Tak terlibat. “Saya tidak hitung berapa orang yang pukul. Setelah kejadian itu, saya disuruh pergi berobat. Saat ke Rumah Sakit, saya ditemani pegawai. Di RS saya diperiksa, diberi resep obat dan diantar balik ke TKU.” Cahe berharap agar satpam yang memukulnya diberi sanksi.


Prof Dwia, sapaan rektor Unhas, yang dikonfirmasi lewat Whatsapp belum memberikan tanggapan atas insiden itu.




Sumber:

Thursday 2 May 2019

Apa Kabar 31 dan Lambang Topi Sekolah ?






 
(Para Siswa SD hingga SMA melakukan upacara bersama. Sumber: iai-tribakti.ac.id)


Tepat hari ini, tanggal 2 Mei, kita sekali lagi merayakan salah satu hari besar dan penting di negeri tercinta ini yang tidak "dimerahkan" oleh pemerintah, ya, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Hari Pendidikan Nasional atau biasa disebut Hardiknas adalah hari dimana salah satu tokoh nasional, bapak Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, lahir. Bukan soal kapan beliau lahir tapi bagaimana perjuangan beliau untuk menyuarakan kesejahteraan di bidang pendidikan di negeri kita tercinta ini.


(Ki Hajar Dewantara. Sumber: notepam.com)


Mengulik sedikit sejarahnya, bapak Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889, yang dimana keluarganya adalah keluarga bangsawan dimana ayahnya adalah seorang pangeran bergelar Gusti Pangeran Harya bernama Soerjaningrat dan ibunya yang bergelar Raden Ayu bernama Sandiah. Semasa kecil, bapak Ki Hajar Dewantara hidup sebagai keluarga ningrat dan menempuh pendidikan seperti layaknya anak ningrat lainnya dan anak kolonial Belanda. Namun, hati beliau tergerak untuk menghapuskan sistem pendidikan hanya untuk konglomerat dan kaum Belanda yang menetap di Indonesia. Ketika beliau menjadi seorang wartawan, beliau selalu menulis tentang dirinya yang anti kolonial sehingga kolonial Belanda menangkapnya dan diasingkan ke Pulau Bangka atas permintaannya sendiri. Selepas menempuh pendidikan di Belanda, bapak Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia untuk mendirikan sebuah yayasan bernama Taman Siswa, yayasan yang didirikan untuk kaum pribumi. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap memperjuangkan kesejahteraan pendidikan di negeri kita tercinta hingga dikenal sebagai Tokoh Pendidikan Nasional. Bapak Ki Hajar Dewantara membuat sebuah semboyan yang hingga saat ini masih digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang artinya di depan menjadi contoh, di tengah membangkitkan semangat, di belakang memberikan dorongan.




Selain perjuangan dari bapak Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan, pemerintah kita pun turut andil dalam memajukan pendidikan, antara lain membuat Pasal 31 Ayat (1) sampai Ayat (5) dalam Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan pada UUD 1945. Isi dari Pasal 31 Ayat (1) sampai Ayat (5) adalah :

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.


Jika dilihat dari ayat per ayat, pemerintah sangat mendukung dalam pengembangan pendidikan di negeri kita tercinta ini karena pendidikan merupakan salah satu aset terbesar negara di masa mendatang. Pemerintah juga menyiapkan anggaran bagi masyarakat kurang mampu dalan menempuh pendidikan. Selain menempuh ilmu, para kaum pelajar juga dituntut untuk berakhlah dalam berilmu agar ilmu yang didapatkan tidak serta merta disimpan namun dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan ilmu pengetahuan dengan berintegritas dalam berpendidikan.



Namun, pada kenyataannya, tiap tahun dunia pendidikan di negeri kita tercinta ini mengalami kemerosotan moral. Guru atau tenaga pendidik yang seharusnya menjadi panutan bagi murid dan dipatuhi justru diperlakukan dengan sangat tidak hormat. Tidak sedikit kasus penganiayaan murid terhadap guru yang terjadi, bahkan sampai merenggut nyawan sang pahlwan tanpa tanda jasa ini. Salah satu kasus yang membuat dunia pendidikan di negeri kita tercinta ini berkabung sangat dalam adalah kasus bapak Ahmad Budi Cahyono, seorang guru honorer di SMA Negeri 1 Torja, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Bapak Budi, sapaan beliau, harus kehilangan nyawanya setelah dianiaya oleh muridnya sendiri berinisial HI dan penyebabnya sendiri berawal dari masalah sepele sehingga si "anak jagoan" ini merasa kesal hingga menganiaya pak Budi hingga tewas. Di sisi lain, kekerasan antarmurid pun tidak sedikit yang hingga merenggut nyawa, salah satu kasus yang terjadi di Makassar, tepatnya di sekolah Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP), seorang Taruna muda bernama Aldama Putra Pangkolan dianiaya hingga tewas oleh seniornya bernama Muhammad Rusdi dan penyebabnya sendiri berawal ketika Aldama masuk ke kampus menggunakan seepda motor tidak menggunakan menggunakan helm dan si "senior jagoan" ini mengetahuinya kemudian memanggil Aldama ke kamar senior dan terjadilah penganiayaan terhadap Aldama hingga tewas.

(Bapak Ahmad Budi Cahyono, guru honorer multitalenta saat masih hidup (kiri, tengah) dan saat jenazahnya diantar ke pemakaman (kanan). Sumber: tribunnews.com)




(Aldama Putra Pangkolan, Taruna ATKP Makassar yang tewas dianiaya seniornya. Sumber: manaberita.com)




Selain dari kasus kekerasan, angka putus sekolah juga masih berada dalam angka yang masih tinggi, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tercatat pada tahun 2015 ada 5,3 juta anak putus sekolah di usia 7-18 tahun dan pada tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 4,6 juta anak putus sekolah di kisaran usia yang sama. Meskipun menurun, namun angka tersebut masih tinggi mengingat di Pasal 31 Ayat (2), pemerintah punya tugas dan tanggung jawab dalam membiayai anak-anak kurang mampu dan putus sekolah untuk menempuh pendidikan.



Belum lagi melihat dari tingkat perguruan tinggi, kini sudah ada 11 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berubah status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau disingkat PTN-BH. Secara sederhana, PTN-BH merupakan perguruan tinggi negeri yang seluruh anggarannya kini tidak dibiayai oleh pemerintah dan PTN mencari anggaran secara otonom. PTN-BN secara dasar bagus dalam menciptakan sarjana sarjana yang berkualitas baik namun pada proses perjalanannya, PTN-BH seakan "memeras" para calon mahasiswa dan mahasiswa, mulai dari penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menggantikan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) hingga fasilitas ruangan, seperti aula dan ruang kelas, harus melalui prosedur yang rumit dan bahkan ada yang sampai menyewakan dengan harga yang tergolong mahal bagi mahasiswa.



Melihat dari segelintir permasalahan pendidikan yang ada di negeri kita tercinta saat ini, sudah siapkah kita untuk menggetarkan negara lain dengan sistem pendidikan kita atau justru kita menjadi "budak" dari negara lain ?
Biarlah waktu yang memberikan jawaban pada negeri kita tercinta ini kelak




Sumber:
Undang Undang Dasar Tahun 1945. Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan: Pasal 31 Ayat (1)-Ayat (5)