Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Monday, 9 March 2015

Kesalahan Berpikir

Berfikir merupakan aktifitas otak , maka berfikir akan menentukan apa tindakan kita selanjutnya, disini dijelaskan beberapa kesalahan berfikir yang akan berefek pada tindakan kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat ada tujuh kesalahan berfikir:

  1. Fallacy of Dramatic Instance
Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argument yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah social. Argument yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambila dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan kita memahami Fallacy of dramatic instance ini:
Joni adalah mahasiswa UNHAS
Dedi adalah mahasiswa UNHAS
Joni berperangai jelek
Jadi, dedi juga berperangai jelek
(karena keduanya mahasiswa UNHAS)
Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu, atau tempat. Padahal, orange itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kitaterapkan pada orang yang sama terus menerus dan selamanya. Alfred Korzybski, salah seorang lingusitik dan psikiatri, menyebutkan betapa seringnya kita tidak melihat adanya perubahan pada sesuatu. Semisal ada contoh lagi sikap saya pada tahun 2001 dengan tahun 2012 disamakn dengan tahun sebelumnya maka kita sudah terjebak pada Fallacy of dramatic instance, oleh karena itu, kata Alfred Korzybski, ada baiknya dalam berfikir kita melakukan datting (penanggalan). Misalnnya, saya tahun 2001.Munculnya stereotip pada benak kita merupakan salah satu akibat dari kesalahan berfikir seperti itu.
2. Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah social yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara histories memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperjitungkan masa silam ketimbang masa mendatang.
Misalnya, ada sesuatu masalah social yang bernama pelavuran alias prostitusi. Sebagian orang mengatakan: “ mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bis dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”
Dengan demikian, cara berfikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”. Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu.
Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti rebut-ribut memeberantas kemiskinan. Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak jaman dahulu . ini juga termasuk kesalahan berfikir Karen selalu melihat kebelakang.
3. Post Hoc Ergo Prropter Hoc
Istilah ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergoartinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X dating sesudah Y . maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya begitu. Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. Dulu, ketika zaman anak pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi, malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “ ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang terakhir ini  yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adaah contoh post hoc ergo propter hoc. Dalam masyarakat pedesaan, Post Hoc Ergo Prropter Hoc biasa disebut dengan "mitos" atau "pamali"
4. Fallacy of Misplaced Concretness
Misplaced berarti salah telak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada  hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab : “kita hancur karena kita berada pada satu sistim jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya  seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” sistem itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas itu disebut reification. Yaitu, menganggap real sesuatu yang sebetulnya hannya berada dalam pikiran kita.
5. Argumentum ad Verecundiam
Berargumrn dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas;relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atau seseorang yang sudah diterima  kebenarannya secara mutlak, seperti Al-Qur’an dan Rasulullah Saw.
Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum tentu relevan dengan maslah atau tema yang sedang dibincangkan.
6. Fallacy of composition
Contoh, ada seorang yang beragama dengan baik. Ia terkenal saleh dan jadi sarjana yangberhasil.Ia memusatkan perhatian untuk belajar agama sejak kecil sampai dia menjadi ulama. Sikapnya terhadap Islam luar biasa. Ia berjuang untuk Islam dan jadi ulama yang baik. Kesimpulannya, kalau begitu, semua orang harus dicetak menjadi ulama seperti dia.padahal repot juga kalau semua jadi ulama. Siapa yang menjadi pendengarnya? Karena ulama biasanya tidak mau mendengar.
Al-Qur’an memperingatkan agar ada segolongan diantara kita yang mempelajari agama, dan tidak ikut berperang . semua itu karena dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang. Inilah yang disebut fallacy of composition.
7. Circular Reasoning
Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. Misalnya, terjadi perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2 dan S3. hasilnya, makin tingi tingkat pendidikan, maka makin menurun trend kehadiran oran Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase siswa Muslim adala 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual yang rendah.
Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam sering dicoret dari program-program pendidikan tinggi.
Orang pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok masalah. Akhirnya, perdebatan it uterus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang disebutcircual reasoning.
Daftar Pustaka
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.

No comments:

Post a Comment