Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Call Me Fikar a.k.a Fickffy

Tuesday, 5 September 2017

Kuasa, Kampus, dan Pendidikan "Alternatif"


(Sumber: tribuntimur.com)

Pertama, tulisan  ini hadir karena keresahan penulis melihat realitas pendidikan saat ini khususnya di dunia kampus. Hegemoni kelas birokrat terhadap kelas mahasiswa yang semakin menjadi-jadi melalui berbagai aturan normlisasi dan regulasi. Wacana-wacana terkait perkuliahan dibuat se-rapi mungkin oleh pihak penguasa untuk disuntikkan kedalam kepala-kepala mahasiswanya.
Tulisan ini hadir untuk menjadi bahan releksi bagi segenap “mahasiswa” di setiap perguruan tinggi , apakah hari ini setiap tindakan yang kita lakukan , adalah murni kehendak diri sendiri? Ataukah sebenarnya ada tangan-tangan tak terlihat yang menggerakkan kita ?
Tulisan ini terbagi ke dalam empat  bagian, bagian pertama menjelaskan tentang eksistensi kuasa dalam menciptakan suatu keteraturan melalui normalisasi dan regulasi. Bagian kedua menggambarkan kondisi kampus yang terjebak dalam kuasa melanggengkan kapitalisme, bagian ketiga menjelaskan realitas lembaga kemahasiswaan hari ini yang justru ikut terlibat dalam lingkaran kuasa “senior vs junior”. Bagian terakhir dari tulisan ini menawarkan konsep pendidikan alternatif yang memanusiakan manusia.
KUASA
Manusia adalah makhluk merdeka , yang memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri. Setiap individu memiliki naluri kekuasaan atau hasrat untuk menguasai individu lainnya , sehingga setiap dari kita ternyata berpotensi menjadi penguasa dan pihak yang dikuasai. Kuasa dalam konteks ini tdak berbicara tentang kekuasaan struktural seperti “atasan dan bawahan” atau “pemilik dan pekerja”, namun kuasa yang di maksud adalah segala sesuatu yang terkait normalisasi dan regulasi yang katanya untuk menciptakan keteraturan di masyarakat dan kuasa yang mampu mempengaruhi kemerdekaan setiap individu atas dirinya sendiri.
Setiap pembahasan terkait persoalan kuasa akan selalu berbanding lurus dengan konsep pengetahuan individu yang bersangkutan. Pengetahuan yang senantiasa mengantarkan kita bagaimana melihat wacana yang mereproduksi di lingkungan masyarakat. Pengetahuan menjadi landasan bergerak setiap individu. Oleh karena itu , kekuasaan tidak terlepas dari upaya konstruk kebenaran dan menjadi dasar keabsahan sebuah pengetahuan. ( baca: Michael Foucault)
Sebuah wacana yang berisi penanda dan petanda tidak mampu berdiri dari sebuah kebenaran objektif, melainkan wacana tersebut terlibat dalam diskursus-diskursus atau mekanisme-mekanisme kuasa yang penyebarannya  melalui media-media “penyampai informasi” ke masyarakat. Tidak dapat dipungkiri hari ini kita hidup dibawah kuasa pemilik modal melalui sistem yang disebut neoliberalisasi. Seluruh sendi-sendi kehidupan telah terjarah oleh sistem itu, dengan menuhankan kapital.(baca:Kapitalisme)
Hari ini pewacanaan di dunia pendidikan pun tak luput dari determinasi kuasa, termasuk di lingkungan kampus. Kurikulum pendidikan yang dibuat entah untuk kepentingan siapa yang mengarahkan pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan harapan “penguasa” kita. Aturan-aturan kebijakan yang dibua katanya untuk menciptakan “keteraturan” di kalangan para akademika yang justru menjadi pertahanan para birokrat untuk melanggengkan kekuasaannya. Dan naluri kekuasaan yang menjelma menjadi sebuah obsesi besar pun diperankan oleh para “mahasiswa”, mereka yang meneriakkan dengan lantang penolakan teradap segala bentuk penindasan pun tanpa disadari menindas “temannya sendiri”. Mereka yang mengkhutbahkan kesadaran kritis di kalangan mahasiswa pun ternyata mereka yang membungkan kesadaran kritis itu. (baca :Mahasiswa).
KAMPUS
Semakin hari kita semakin dibuat tercengang dengan konsep kurikulum yang disodorkan oleh pihak birokrat. Kurikulum materi kuliah yang dibuat katanya untuk meningkatkan potensi diri justru malah menciptakan pengekangan di-diri mahasiswanya. Pendidikan tidak lagi untuk memerdekakan justru sebaliknya mahasiswa terpenjara dalam sistem yang dibuat untuk normalisasi dalam melanggengkan sebuah kekuasaan, mahasiswa kritis dibungkam oleh sistem, mahasiswa yang dianggap mengancam kekuasaan “dipasung” dengan ancaman DO atau skorsing. Setiap ceramah dosen berisi iming-iming lapangan pekerjaan , menjadi seorang manajer , direktur, akuntan ,dokter, dan berbagai macam profesi lainnya. Realitas pendidikan hari ini hanya sampai mengantarkan kita kepada gebang institusi baik itu swasta maupun negara.
Kurikulum pendidikan meniscayakan pengetahuan yang diperoleh oleh mahasiswa di ruang perkuliahan. Namun Kurikulum pendidikan pun tak luput dari determinasi kekuasaan , sehingga pengetahuan yang diperoleh mahasiswa di ruang perkuliahan terselip kepentingan-kepentingan kuasa, untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang sedang berjaya saat ini. Karena pengetahuan merupakan landasan setiap orang dalam bergerak , maka realitas gerakan  mahasiswa saat ini pun mengarah pada pelanggengan sistem kuasa tersebut, misal kuasa kapitalisme. Tidak hanya itu , bentuk hegemoni kekuasaan di dunia pendidikan pun terlihat dari media-media yang menyangkan atau memeberikan informasi terkait mahasiswa terbaik, lulusan terbaik yang menjadi “pekerja” , ukuran kesuksesan seseorang diukur dari materi ketika ia menjadi seorang dokter , direktur , dan PNS. Media pun tak luput menayangkan bagaimana mahasiswa “buruk” adalah yang selalu membuat kekacauan dengan berdemo misalnya. Sehingga wacana yang disuguhkan media-media ke masyarakat  itu tak luput dari mekanisme-mekanisme kuasa dalam melanggengkan kekuasaannya.
Tidak berhenti sampai disitu kekuasaan lain di dunia pendidikan pun ada yang disebut kekuasaan disipliner.kekuasaan disipliner artinya Segala bentuk kebijakan , aturan-aturan oleh birokrat yang diterapkan di dunia kampus dengan dalih untuk mengajarkan ilmu displin agar tercipta sebuah keteraturan. Di ruang perkuliahan jadwal belajar diatur sedemikian rupa, mulai dari waktu belajar hingga istirahat untuk “bermain-main”, di dalam kampus harus menggunakan baju seperti ini , dilarang mengenakan yang seperti itu, dilarang bertingkah begini dan begitu. Bagi mereka yang mengindahkan peraturan diberi bintang-bintang emas sebagai mahasiswa terbaik, pun yang melanggar perintah-perintah didefinisikan tidak hanya buruk tapi abnormal. Kekuasaan displiner ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan mereka yang “normal” terhadap yang lainnya.(baca : kekuasaaan) Mahasiswa hanya dapat bergerak atas dasar prilaku baik, pantas, normal seperti yang ditentukan oleh pemegang kekuasaan.

LEMBAGA KEMAHASISWAAN
Sungguh, kuasa ternyata tidak hanya ada di bagian birokrat kampus ,di kalangan mahasiswanya pun tak kalah eksistensinya. Kuasa antara ketua dan anggota lembaga, antara senior dan junior ,bahkan antara sesama teman-teman mahasiswanya. Sadar atau tidak semua berlomba menanamkan kekuasaannya pada orang lain. Pola kekuasaan itu sangat jelas terlihat saat proses-proses pengaderan mahasiswa baru , bagaimana setiap “senior” menanamkan kekuasaan pada “Maba” baik melalui diskusi-diskusi khusunya dalam menyebarkan isme-isme seperti kapital-isme ,sosial-isme, marx-isme, maupun isme-isme lainnya. Dampak dari pengaruh kekuasaan tersebut mahasiswa baru menerima segala pahaman-pahaman dari seniornya secara langsung tanpa ada upaya kritis. Sehingga proses transformasi pengetahuan yang diterima pun terkesan dogmatis. Karena sifatnya yang dogmatis sehingga sulit menjadi landasan dalam melakukan sebuah gerakan.
Pola pengaderan yang senantiasa mengkhutbahkan pendidikan kritis pun ternyata dalam pelaksanaanya justru jauh dari kata kritis. Menggring, membentak, bahkan menghardik pun kerap terjadi , dengan bangganya meneriakkan  bahwa pengaderan itu “memanusiakan manusia” namun pelaksanaan pengaderannya jauh dari kata memanusiakan ,kenapa seperti itu karena Paradigma yang tertanam di mahasiswa adalah bahwa senior lebih “banyak tahu” daripada junior. Senior memiliki kuasa atas junior. Keadaan-keadaan seperti ini yang kemudian membuat pengaderan hanya sebuah strktur formal yang harus dijalankan ketika ingin bergabung di sebuah lembaga kemahasiswaan. Pengaderan sebagai pendidikan alternatif tidak lagi berjalan efektif. Idealnya dalam pelaksanaan pengaderan nilai yang perlu tertanam adalah kesadaran, bagaimana kesadaran hadir dalam upaya menilai sebuah kekuasaan yang mampu memanusiakan manusia.

ALTERNATIF
Pengaderan di dalam sebuah lembaga kemahasiswaan hadir sebagai pendidikan alternatif yang menawarkan metode pendidikan yang memerdekakan dan me-manusiakan dengan konsep andragogi (model pendidikan bagi orang dewasa) yang dilaksanakan dengan prinsip dialektis, partisipatif, kontekstual dan praktis . (baca : pendidikan populer ).
Pendidikan alternatif hari ini hadir untuk menjawab keresahan “sebagian orang” yang tersadar akan dominasi kuasa sistem yang berhasil meng-alienasi-kan manusia dengan lingkungannya bahkan dengan  ke-diri-annya sendiri. Yah ketika manusia tidak lagi bergerak atas kehendak dirinya tapi berdasarkan doktrinitas yang dibuat sistem dalam melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pendidikan alternatif harus  menerapkan prinsip egaliter , artinya dalam proses pendidikan ada kesetaraan didalamnya, setiap orang menerima sesuai dengan porsinya masing-masing, tidak ada unsur pemaksaan murni atas kesadaran dan kehendak individu itu sendiri.
Karena katanya setengah dari hidup manusia adalah sebuah harapan, besar harapan saya pendidikan alternatif yang ditawarkan hari ini oleh lembaga kemahasiswaan adalah pendidikan yang mampu menyatukan kembali manusia dengan ke-manusiaan-nya, diri dengan ke-diri-annya, dan memiliki kesadaran yang sampai pada tahap kesadaran transformatif.
Desy Septiani (Akuntansi UNHAS 2016)

(Sumber tulisan: www.semafebuh.com)

No comments:

Post a Comment